Saturday, January 29, 2011

Secercah harapan kebangkitan Islam di Tanah Nabi


Setelah Ben Ali lari dari Tunisia, Mubarak di Mesir akan digusur. Semua diktator itu berkuasa berkat dukungan Amerika Serikat

Ini adalah Jumat bersejarah. Hari itu, 28 Januari 2011, puluhan ribu massa berdemonstrasi di Kairo menuntut mundurnya Presiden Husni Mubarak yang sudah berkuasa 30 tahun. Dan apa yang terjadi merupakan demonstrasi terbesar yang pernah terjadi selama ini untuk menantang penguasa.

Seusai Shalat Jumat, massa dari masjid-masjid di ibu kota Mesir itu berhamburan ke jalan-jalan. Mereka kemudian berhadapan dengan polisi yang menembakkan gas air mata, peluru karet, dan semprotan air (water cannons). Para demonstran membalasnya dengan timpukan batu atau apa saja yang mereka temukan. Dari balkon rumah di sepanjang jalan, penduduk memberikan air dan jeruk untuk demonstran yang matanya terkena gas air mata, tapi menimpuki polisi dengan kayu dan batu.

 Saksi mata menyebutkan kerumunan setidaknya 10.000 massa mencoba mencapai Tahrir Square, di pusat Kairo yang tampaknya pada hari itu dijadikan sentral gerakan. Tak sedikit di antara mereka menginjak-injak foto Husni Mubarak sembari berteriak-teriak, ‘’Jatuhlah Mubarak’’. Selain di Kairo, demo pecah di kota lain seperti Suez, Alexandria, dan Al Arish.

Sang Diktator Husni Mubarak segera memerintahkan diberlakukan jam malam mulai pukul 6 sore. Tapi para demontran mana peduli. Maka bersamaan dengan datangnya malam di berbagai bagian Kota Kairo pecah ‘’pertempuran’’ demonstran versus polisi. Korban berjatuhan. Ditaksir sampai Jumat malam sudah 900 orang cedera dalam peristiwa ini. Mubarak memerintahkan tentara diturunkan untuk bergabung dengan polisi menghadapi demonstran.

Demonstran berhasil menguasai sejumlah kendaraan lapis baja, membakar habis kantor partai yang berkuasa, National Democratic Party (NDP), dan bergerak untuk menyerang gedung televisi pemerintah, kantor Departemen Dalam Negeri. Demonstran pun menjadikan gedung Kedutaan Besar Amerika Serikat sebagai target yang harus dihancurkan.

Sebelum Kairo, demo ribuan orang pecah di Sana (ibukota Yaman), menuntut Presiden Ali Abdullah Saleh yang sudah berkuasa 32 tahun untuk mengundurkan diri. Hal serupa terjadi di Aljazair, awal Januari lalu,  ketika demonstrasi pecah di Algiers, ibukota negeri itu. Tapi rezim yang dipimpin Presiden Abdelaziz Bouteflika dengan dukungan kuat militer, menghadapi aksi itu dengan kekerasan. Akibatnya 5 demonstran terbunuh, 800-an terluka, dan lebih 1000 orang ditangkap.

Gejolak yang terjadi di negara-negara Arab ini bermula dari Tunisia. Di sana demonstrasi besar sukses mengusir Presiden Zine el Abidine Ben Ali. Diktator yang didukung Barat itu melarikan diri ke Jeddah, Arab Saudi, 14 Januari lalu, setelah demonstrasi besar gagal dipadamkan, sekali pun dengan menggunakan kekerasan.

Tunisia, negeri kecil di Afrika Utara itu berpenduduk cuma 10 jutaan. Tapi negeri bekas jajahan Perancis ini adalah paling sekuler di dunia Arab. Inilah negeri Arab satu-satunya di dunia yang melarang poligami dan pemakaian jilbab. Masjid boleh berdiri, tapi hanya bisa dibuka 30 menit/hari hanya untuk Shalat 5 waktu. Tunisia punya hubungan paling dekat dengan Israel, Uni Eropa, dan terutama Amerika Serikat.

Partai Islam An-Nahdha dinyatakan terlarang sejak 1992. Soalnya, dalam pemilihan umum sebelumnya partai ini bisa mengumpulkan 20% suara meski pun sudah dicurangi habis-habisan oleh penguasa. Para pengurusnya dipenjarakan. Rachid Ghannouchi, pendiri partai itu melarikan diri ke Inggris dan bersembunyi di sana.

 Negeri ini dipimpin seorang diktator Zine El Abidine Ben Ali, yang selama 23 tahun ini berkuasa dan bersama saudara dan kerabatnya hidup bermewah-mewah. Time Online 11 Januari lalu, melukiskan betapa mewahnya kehidupan keluarga ini dengan mengutip bocoran kawat diplomatik yang disebarkan WikiLeaks.

Sebuah jamuan makan malam di tahun 2009 yang diadakan Sakher El Materi, menantu Ben Ali, dihiasi Pasha, seekor harimau besar yang mengaum berkeliling taman. Makanan yang dihidangkan seperti buah-buahan, kue, dan yogurt segar, baru saja diterbangkan dengan pesawat jet privat dari St Tropez, sebuah kota di Perancis Selatan. Luar biasa. Apalagi bila diingat pengangguran cukup tinggi di negeri itu, sekitar 14%.

Akhirnya tibalah saatnya kediktatoran dukungan Amerika Serikat ini berakhir. Pada 17 Desember 2010, seorang pedagang keliling di Kota Sidi Bouzid, Mohammad Bouazizi, 26 tahun, menyirami sekujur tubuhnya dengan bensin lalu menyulutnya dengan korek api. Peristiwa yang terjadi di depan kantor Gubernur setempat itu segera membuat heboh. Kenapa bisa? Bukankah koran dan televisi tak menulis peristiwa karena di bawah sensor Pemerintah?

Ternyata peristiwa itu beredar dari mulut ke mulut untuk selanjutnya tersebar melalui Facebook.  Celakanya Bouazizi yang kemudian meninggal dunia di rumah sakit, sama sekali tak pernah tamat SMA. Tapi di Facebook ia ditulis sebagai sarjana penggangguran yang terpaksa harus menjadi pedagang keliling.

Hari itu buah-buahan dan sayuran dagangannya disita seorang polisi wanita karena ia berdagang tanpa izin. Bouazizi ingin mempertahankan dagangannya tapi dikabarkan ia sempat menderita tamparan di pipi. Peristiwa itu memalukan untuk seorang pria Arab dan mendorongnya kemudian untuk membakar diri.

Demonstrasi pertama pecah hari itu juga. Belasan keluarga Bouazizi, lelaki dan perempuan, demo di depan kantor gubernur. Mereka berteriak-teriak. ‘’Keluarga kami bisa terima apa saja tapi tidak penghinaan terhadap harga diri,’’ kata Samia Bouazizi, kakak perempuan korban.

Penyebaran peristiwa melalui Facebook tak bisa dipandang enteng. Soalnya di antara 10 juta penduduk Tunisia, ada 2 juta pengguna Facebook. Kemudian jaringan televisi Al-Jazeera yang berpusat di Qatar, menangkap kehebohan itu. Peristiwa ini pun tersebar intensif di kawasan Timur Tengah dan negara-negara Arab. Karena itu Kolomnis Roger Cohen menulis apa yang terjadi di Tunisia adalah revolusi Facebook. ‘’Tapi saya lebih menyukai frasa yang saya temukan di Tunis: revolusi harga diri,’’ tulisnya  (The New York Times, 24 Januari 2011).

Para pemuda negeri itu banyak bertitel sarjana tapi menganggur. Mereka pun tersulut membaca kisah tragis Bouazizi. Dari sinilah demonstrasi dan gerakan melawan pemerintah dimulai di Tunis, ibukota Tunisia.

Kemudian ‘’revolusi’’ itu menjalar ke tetangganya Aljazair, Mesir, dan Yaman. Semua negara ini dikenal sebagai penindas gerakan Islam dan dipimpin diktator korup dukungan Amerika Serikat dan negara Barat.

Itu  sudah terjadi sejak Pemilu 1991 di Aljazair yang pada babak pertama telah dimenangkan mutlak oleh partai Islam, Islamic Salvation Front. Partai ini diramalkan memenangkan pemilihan tahap kedua.

Tapi seperti disaksikan dunia, militer segera membatalkan Pemilu. Tindakan itu menyebabkan terjadi kerusuhan di negeri itu yang menelan korban 160.000 orang, tak sedikit di antaranya orang sipil tak berdosa. Dan sampai sekarang Aljazair diperintah oleh diktator dukungan militer yang bersahabat dengan Amerika Serikat dan Barat. Hal sama terjadi pada Tunisia, Mesir, Yaman, dan sejumlah negara lainnya di Timur Tengah yang dekat dengan Amerika Serikat. Sekarang revolusi rakyat melanda.

No comments:

Post a Comment

Kasih kritik dan saran